SUMSEL,JEMBATANRAKYAT.ID – Penetapan tersangka kepada Mularis pribumi Campang Tiga terkesan berbeda penanganan dengan perkara yang sama dan telah P21 yang dilakukan oleh investor swasta PT LPI.
Disparitas penanganan perkara ini menjadi opini buruk bagi masyarakat pribumi Campang Tiga karena ada kesan APH lebih berpihak ke investor pendatang. Perkara penyerobotan tanah rakyat oleh PT LPI sudah menetapkan tersangka dan P21 diserahkan Kejati ke Kejari OKU tahun 2014 menurut masyarakat Campang Tiga.
Luasan lahan yang digugat masyarakat Campang Tiga ke PT LPI di perkirakan lebih dari 5.000 hektar. PT LPI sendiri mendapat izin lokasi HGU seluas 21.500 Hektar saat kabupaten OKU belum di pecah menjadi 3 (tiga) kabupaten.
Menjadi tanda tanya besar masyarakat kepada APH kenapa terjadi perbedaan atau disparitas penangana perkara sementara PT LPI digugat masyarakat sudah sedemikian lama tanpa ada tindak lanjut secara hukum. Tahun 2007 sudah ada penetapan TSK kepada manager dan staff PT LPI dan 2014 diserahkan Kejati Sumsel ke Kejari OKU untuk di sidangkan tapi hingga kini belum nampak di sidang pengadilan.
Adanya dugaan disparitas penanganan perkara ini, Deputy K MAKI bersuara keras dan memperlihatkan ketidak setujuannya, “kenapa harus terjadi perbedaan penanganan perkara Mularis dan PT LPI dan apa karena masyarakat pribumi dianggap warga negara kelas 2 (dua)”, ujar Feri Kurniawan Deputy K MAKI sambil menyantap Indomie telor berbagi dua dg Koordinator K MAKI Bony Balitong.
“Amun salah galo ngapo dak duo – duonyo di TPPU dan HGUnyo di tinjau ulang atau di batalke”, timpal Bony menanggapi pernyataan Feri sambil hirup kopi Rp. 3.000 di warung Bu Endang.
“Inilah yang menyebabkan masyarakat apatis terkait penanganan hukum sengketa investor pendatang yang menyerobot lahan mereka karena jarang berhasil”, ucap Feri Kurniawan sambil menggigit cabe rawit pelemak makan mie.
“Caknyo cuma berharap dan berdoa kalau tanah kito di ambek pengusaha dan dak pacak berharap banyak dengan proses hukum”, pungkas Bony Balitong.
Hampir 9 (sembilan) juta hektar tanah masyarakat ulayat, hutan produksi dan APL di kuasai pengusaha perkebunan sawit. Ironisnya ketika masyarakat berhadapan dengan investor terkait lahan mereka yang masuk izin lokasi HGU dan diserobot oleh pengusaha itu maka proses hukum akan berlangsung lama sampai anak cucu dan terkesan tidak akan berhasil. (RS1)