K MAKI : Sumatera Selatan Masuk Kategori Zona Hitam Mafia Tanah di Indonesia

SUMSEL,JEMBATANRAKYAT.ID – Perkara TPPU dan pelanggaran Undang – undang perkebunan yang di sangkakan kepada Direktur Utama PT Campang Tiga “Mularis Jahri” Membuka mata masyarakat, “Sumsel Zona hitam Mafia tanah di NKRI”.

HGU LPI seluas 21.500 hektar menjadi sumber polemik pertanahan di OKUT hingga saat ini seperti halnya yang terjadi di Lahat dan Muara Enim terkait pertambangan batubara. Pemberian izin HGU Perkebunan tebu kepada PT LPI diduga bermasalah dan menghambat fihak swasta lainnya untuk berinvestasi termasuk masyarakat pemilik tanah ulayat.

Bacaan Lainnya

Karena kemudahan pemberian izin HGU pertambangan dan perkebunan di awal Reformasi dengan memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah menjadi pemicu tumbuhnya kartel Mafia tanah di Sumatera Selatan. Oknum BPN, beberapa Kepala Daerah dan Mafia tanah berkolaborasi membentuk kartel Mafia tanah di Sumsel.

Lahan masyarakat dan tanah negara diserobot oleh pengusaha yang berkolaborasi dengan kartel Mafia tanah dengan dalih masuk dalam kawasan HGU menurut Deputy K MAKI Feri Kurniawan. “Demo – demo masyarakat ke Institusi hukum sangat sering terjadi namun kartel Mafia tanah Sumsel mencengkram di segala lini hingga apapun upaya masyarakat seakan sia – sia saja”, jelas Feri Kurniawan.

“Berusaha di tanah sendiri dan tanah ulayat menjadi tabu karena masuk wilayah HGU perusahaan yang mendapat HGU tanpa persetujuan mereka”, ujar Feri Kurniawan. “Kartel Mafia tanah mendapatkan hadiah dari pengusaha berupa tanah yang luas dan fee pengurusan izin”, jelas Feri Kurniawan. “Penggusuran lahan milik masyarakat, tanah ulayat dan HGU BUMN merupakan hal biasa dan terkesan tak tersentuh hukum”, timpal Feri Kurniawan.

“Korban jiwa berjatuhan, masyarakat miskin meningkat, perusakan hutan, perubahan ekosistem air dan udara, kriminalisasi dan prostitusi menjadi dampak penyerobotan lahan oleh kartel Mafia tanah Sumsel dan hukum yang tumpul”, ujar Feri Kurniawan.

“Masyarakat yang berharap kepada Kepala Daerah, DPRD dan institusi hukum terkadang harus merasakan kecewa karena kuatnya kartel Mafia tanah menguasai segala lini pemerintahan”, papar Feri Kurniawan.

“Bahkan kartel Mafia tanah bisa menghambat proses persidangan dan memberikan nilai ganti rugi tanah yang sangat minim hingga hanya di berikan kerohiman Rp. 1 juta per hektar”, papar Feri Kurniawan. “Peristiwa penetapan Mularis selaku tersangka dugaan penyerobotan tanah negara terkesan menjadi antiklimaks penegakan hukum di Sumsel karena peristiwa yang sama dan sudah berproses hukum pidana mandek karena mungkin adanya campur tangan kartel Mafia tanah”, pungkas Feri Kurniawan. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *