SUMSEL,JEMBATANRAKYAT.ID – Mega Kredit yang di kucurkan salah satu Bank Plat Merah untuk para investor tambang batubara senilai lebih dari Rp. 89 triliun yang diduga melanggar SOP perbankan akan menjadi masalah serius bila menjadi kredit tak tertagih.
Karena Bank Plat merah merupakan Bank milik negara maka tidak menutup kemungkinan diterapkan pasal tindak pidana korupsi menurut pegiat anti korupsi Sumsel yang juga Koordinator K MAKI Bony Balitong mengutip pendapat salah ahli hukum pidana di Sumsel.
” Belajar dari perkara kredit macet di Bank Sumsel Babel yang di kenakan pasal tipikor maka perkara kredit macet di Bank Pelat merah harus mengacu ke pasal pidana korupsi,” papar Bony Balitong.
Bila benar adanya potensi kredit macet sebesar Rp. 89 trilyun yang di berikan oleh salah satu bank plat merah dan tak tertagih karena agunan yang tidak mengcover pinjaman dan mungkin juga tanpa agunan maka hal ini harus di tindak lanjuti oleh KPK dan Kejaksaan Agung.
Apalagi info yang kami dapatkan dari pengusaha tambang batubara yang tidak ikut bermain pinjaman perbankan bahwa ada salah satu pengusaha tambang batubara asal Sumsel yang menunggak kredit hingga Rp. 17 trilyun.
” Apalagi bila pinjaman tersebut kolektabilitasnya 5 maka hal ini menjadi perhatian serius ada apa dengan proses pemberian kredit pembiayaan tersebut”, papar Bony Balitong.
“Patut di pertanyakan pungsi pengawasan OJK terkait mega kridit ini yang berpotensi menciptakan kekacauan perbankan nasional”, jelas Bony Balitong.
Disamping masalah kridit pembiayaan eksploitasi batubara yang berpotensi kridit macet, kisruh batubara Sumsel juga terkait adanya dugaan perampasan lahan tambang rakyat oleh pengusaha tambang bekerjasama dengan oknum aparat. K MAKI menyoroti masalah ini karena diduga adanya lahan HGU milik BUMN yang di ambil alih oleh pengusaha tambang swasta nasional.
“Kerusakan lingkungan maha dasyat sudah didepan mata dan tinggal menunggu waktu saja sementara tidak di ketahui kemana dana Reklamasi dan pasca tambang kewajiban pengusaha di simpan”, jelas Bony Balitong. “Pengusaha dengan seenaknya meninggalkan lahan rusak pasca tambang yg merusak ekosistem”, kata Bony Balitong.
“HGU milik pemerintah diduga sudah lebih dari separuh di ambil alih swasta di setelah peristiwa reformasi dan awal otonomi daerah yang kebablasan”, ucap Bony Balitong.
“Sementara institusi hukum seakan mendiamkan saja pengambil alihan lahan ulayat milik masyarakat oleh pengusaha tambang dengan dalih masuk dalam HGU mereka”, pungkas Bony Balitong. (Ril)