K MAKI : terkait kasus Mularis, Semua HGU Perkebunan di Sumsel Harus Ditinjau Ulang

SUMSEL,JEMBATANRAKYAT.ID – Penguasaan lahan sedemikian luas oleh perusahaan swasta berkedok HGU perkebunan dan pertambangan sangat meresahan masyarakat Sumsel. Tanpa pemberitahuan dan seizin mereka tanah warisan turun – temurun dan tanah ulayat di caplok masuk wilayah HGU.

Pencaplokan tanah mereka masuk dalam HGU menjadi alasan pengusaha bertindak sewenang – wenang menggusur tanah mereka berdalih masuk dalam HGU perusahaan.

Bacaan Lainnya

Klaim dan gugatan masyarakat melalui jalur Pemerintah Daerah dan jalur hukum terkesan sia – sia karena selaku pemilik tanah berdasarkan status ulayat akan kalah dengan HGU yang di sahkan oleh negara. Reformasi agraria dan amandemen UUD 1945 terkesan malah menjadi dampak buruk untuk masyarakat pribumi pemilik tanah warisan “nineng puyang”, ujar Deputy K MAKI Feri Kurniawan.

“Contoh yang lagi viral ketidak berdayaan masyarakat melawan pengusaha pemegang HGU maha luas adalah perkara Mularis Jahri dan masyarakat melawan PT LPI investor besar perkebunan gula di Indonesia”, papar Feri Kurniawan.

“Sudah puluhan tahun masyarakat Suku Semendawai dan Suku – Suku pribumi komering menuntut hak tanah ulayat warisan nineng puyang yang dikuasai dan digusur perusahaan swasta bila kita baca di media masa sebelum pemecahan OKU raya menjadi 3 (tiga) kabupaten”, jelas Feri Kurniawan.

“Selaku putra daerah komering mungkin saja Mularis merasa punya hak yang sama dengan PT LPI untuk mengelola tanah ulayat atau tanah negara dan masyarakat meminta ganti rugi tanah nineng puyang ke PT LPI yang menguasai tanah nineng puyang berdasarkan legalitas HGU yang di keluarkan pemerintah’, menurut pendapat Feri Kurniawan. “UUD 1946 sebelum di amandemen jelas menyatakan untuk sebesar – besarnya demi kesejahteraan rakyat pemilik tanah ulayat di NKRI”, papar Feri Kurniawan.

“Mungkin salahnya Mularis karena penguasaan tanah ulayat atau tanah negara yang masuk kawasan HGU PT LPI dan belum membayar pajak”, kata Feri lebih lanjut. “Namun yang dirugikan sebenarnya adalah masyarakat ulayat nineng puyang menurut pendapat saya dan mereka yang berhak melaporkan Mularis dan PT LPI ke APH bila mengacu UUD 1945 dan Undang – undang pokok Agraria yang telah di non aktifkan itu”, kata Feri Kurniawan tertawa lebar.

“Pemahaman masyarakat awam menjadi negative terkait HGU yang menguasai harkat hidup mereka karena seakan kembali ke zaman VOC yang minta tanah sedikit tapi ujung – ujungnya nak nguasai galonyo”, dengan terpingkal – pingkal Feri berucap. “Untung dak bini kito di ambeknyo”, ujar Feri Deputy K MAKI dengan bahasa daerah Palembang.

“Dan yang harus di cermati oleh APH adalah kridit Bank plat merah kepada pengusaha atau investor pemegang HGU dengan dalih pinjaman prospektus usaha perkebunan dan pertambangan jangan sampai jaminan kridit adalah hayalan untung besar tapi disetujui menjadi boroh pinjaman”, pungkas Feri Kurniawan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *